INA-CBGs ; Prototype Kegagalan Penjembatanan Ideologi Sosialisme kedalam Kapitalisme #1

Ditulis oleh : Tejay Souza

Tanggal : 07 Januari 2023


"Apa itu INA-CBGs?"

INA-CBGs (Indonesia Case Base Groups) merupakan sistem klaim pembiayaan layanan kesehatan dari BPJS Kesehatan kepada PPK (penyelenggara pelayanan kesehatan) dengan metode klaim per case-diagnostic. Pada INA-CBGs dirumuskan berbagai kode diagnosa penyakit beserta tarifnya, baik tarif rawat jalan maupun rawat inap. Berbeda dengan sistem pembiayaan mandiri/umum dimana kita akan dikenakan biaya pada setiap item pelayanan (unit cost), pembiayaan INA-CBGs berbentuk paketan ; apapun tindakan yang diberikan, apapun obat yang diberikan, harga klaimnya sama, selama codingan klaimnya tidak berubah.

INA-CBGs merupakan peralihan dari INA-DRGs (Indonesia Diagnosis Related Group) yang dibuat pada tahun 2006. Perubahan nomenklatur ini terjadi pada tahun 2010. Berubah nama menandakan berubahnya peran, fungsi serta cakupannya. Awalnya INA-DRGs hanya mencakup rumah sakit pemerintah. Kemudian sistem ini dikembangkan ke seluruh rumah sakit swasta di indonesia dengan bentuk kemitraan antara BPJS Kesehatan dengan PPK (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit). 

BPJS Kesehatan dalam hal ini bertindak sebagai pihak ketiga dalam hal penyaluran pembiayaan layanan kesehatan dari masyarakat ke PPK. Alurnya kurang lebih seperti ini ;

1. Masyarakat mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS

2. Masyarakat membayar premi bulanan kepada BPJS

3. Masyarakat yang berobat mendaftar dengan opsi peserta BPJS ; dengan membawa identitas kepesertaan program JKN

4. PPK mengajukan klaim kepada BPJS

5. BPJS membayarkan klaim peserta kepada PPK

Masyarakat mungkin banyak tidak tahu terkait mekanisme penyelenggaraan program JKN. Mereka hanya tau bayar premi bulanan yang tiap tahun tarifnya selalu naik namun pelayanan yang didapatkan peserta BPJS saat berobat ke PPK 1 dan 2 tidak jua maksimal. Lalu sebagian masyarakat berkeluh kesah "iuran BPJS naik terus tiap tahun tapi pelayanan kesehatan ngga juga membaik".

"Tahukah anda?"

Bahwasanya sejak tahun 2014 sama sekali belum ada perubahan tarif klaim INA-CBGs? Bayangkan! Selama 9 tahun BPJS tidak merubah tarif klaim untuk PPK! Apa artinya? Artinya, hingga tahun 2023 ini seluruh PPK di Indonesia dibayar oleh BPJS dengan nominal tarif yang berlaku 9 tahun lalu! INI GILA!!

Sebagai pembanding, UMK Kota Bandung pada tahun 2014 adalah Rp 2.000.000,-. Di tahun 2023 UMK Kota Bandung naik menjadi Rp 4.048.462,69. Naik 100% lebih. Nah, apa anda mau bekerja di tahun 2023 tapi dibayar pakai upah sebesar upah 9 tahun lalu? Ya! Begitulah yang dirasakan oleh PPK seluruh Indonesia! Pemerintah menarik biaya iuran yang makin tinggi kepada masyarakat tiap tahunnya, sehingga muncul ekspektasi lebih dari masyarakat "gue udah bayar mahal, berarti harus dapet kualitas pelayanan yang sebanding". Akan tetapi Pemerintah membayar PPK dengan tarif 9 tahun lalu. Gimana PPK mau ningkatin pelayanan?

Mari kita lakukan studi kasus pada rumah sakit, supaya anda tahu bagaimana kondisinya.

1. Pendapatan

Diluar Business-Development, rumah sakit mendapatkan uang dari 3 pos utama

- Klaim BPJS

- Klaim Asuransi

- Pembayaran Umum/Mandiri

Pada pos pendapatan, kita sudah ulas bahwa tarif INA-CBGs belum ada perubahan sejak 2014. Sudah begitu, pemerintah mendorong seluruh masyarakat agar menggunakan BPJS. BPJS sendiri ada banyak menunya, kita sederhanakan jadi 3 saja ;

a. PBI (Program Bantuan Iuran). Peserta mendapat subsidi iuran dari APBN maupun APBD.

b. Peserta Mandiri. Disini peserta bayar premi sesuai kelas dari Rp 35.000 hingga Rp 150.000 per bulan.

c. PPU (Pekerja Penerima Upah). Kaum pekerja akan didaftarkan BPJS dari perusahaan dengan biaya 5% dari upah terdaftar (minimal UMK).

Rata-rata rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS komposisi pendapatannya berkisar 60-80% dari BPJS, sisanya (20-40%) dari pembiayaan umum dan asuransi.

Pada tahun 2016, ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia) pernah mengeluarkan sebuah jurnal terkait perbedaan tarif pelayanan rumah sakit dengan klaim INA-CBGs. Yang menjadi objek penelitian saat itu adalah RS Budi Asih Jakarta, rumah sakit Type B (250<bed<500). Hasilnya, terdapat selisih negatif sekitar 27,05% antara tarif yang dikeluarkan rumah sakit dengan klaim yang dibayarkan oleh BPJS berdasarkan INA-CBGs. 

5 tahun kemudian, di tahun 2021, saya pernah membandingkan langsung secara hitung kasar terkait tarif klaim umum dengan BPJS di sebuah rumah sakit type C (100 < bed < 250) di Kabupaten Bekasi. Hasilnya cukup mengejutkan. BPJS hanya membayar sekitar ±50% dari tarif rumah sakit dengan pembiayaan umum/asuransi. Artinya, jika pendapatan rumah sakit dari BPJS mencapai 60% dan 40%nya dari umum dan asuransi, maka pendapatan rumah sakit hanyalah 70% dari yang seharusnya mereka dapatkan. Dengan kata lain, bisa dikatakan pemerintah telah "merampas" pendapatan rumah sakit sebesar 30% per bulan yang secara statik-fluktuatif naik secara periodik. Kalau 100% dari BPJS artinya rumah sakit dirampok pemerintah 50% setiap bulannya. Ketika saya tanya, "kenapa masih mau melayani pasien BPJS?" Selalu dijawab "BPJS sudah memonopoli pasar. Kalau ngga melayani pasien BPJS, rumah sakit kita ngga ada pasien, jadi ngga ada pemasukan".

Fyi, BPJS membedakan pembayaran berdasarkan kelas rawat, tipe rumah sakit dan regionalnya untuk setiap klaim diagnosa yang sama. Misalnya, untuk diagnosa typhoid layanan kamar kelas 1 rumah sakit

RS Type A Regional 1 : 5.058.400

RS Type B Regional 1 : 4.272.700 (selisih 15,5%)

RS Type C Regional 1 : 3.884.300 (selisih 23,2%)

Kelas makin rendah, klaim makin rendah. Harga ini dihitung oleh BPJS pada tahun 2014 dengan asumsi LOS 3 hari rawat. Sudah begitu, rumah sakit dilarang keras memungut iur biaya dari pasien, dilarang juga memulangkan pasien jika kondisinya belum layak untuk dipulangkan. Sedangkan realitanya untuk kasus typhoid itu rata2 LOS di 4-5 hari rawat.

Secara HPP (Harga Pokok Produksi), semua faskes akan mengeluarkan biaya modal yang sama untuk satu pelayanan. Yang membedakan adalah biaya tak langsung seperti biaya operasional gedung, gaji karyawan, depresiasi fasilitas, dsb. Mungkin itu yang mendasari kenapa tiap type dan kelas dibayarkan berbeda oleh BPJS.

2. Pengeluaran

- Gaji Dokter & Karyawan

- Operasional (Obat dkk)

- Investasi (Alat Medis & Properti)

- Pajak & Perizinan

Sialnya, jika rumah sakit bekerjasama dengan BPJS maka rumah sakit akan terikat dengan 3 stakeholders ; Kementerian & Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, Dinas Ketenagakerjaan. 

- Kemenkes mengeluarkan Permenkes yang mengatur tentang kelas rumah sakit dan standar tenaga, fasilitas dan pelayanan yang harus dilaksanakan.

- Kelas rumah sakit akan membedakan besaran klaim BPJS. Jika tidak sesuai maka turun kelas, alias turun besaran klaim.

- Disnaker menuntut standardisasi upah karyawan.

Pos pengeluaran mengalami kenaikan terus sejak 2014. Upah minimum naik 100%. Kalau rumah sakit ngga naikin gaji karyawan selama 9 tahun bisa-bisa rumah sakit didemo. Disnaker juga bakal kasih sanksi berat. Biaya perizinan dan pajak naik berkali-kali lipat. Alat medis naik terus, mana ngga ada yang murah. Biaya operasional cem listrik air dan telepon juga naik terus. Harga obat juga naik terus. Daan masih banyak lagi lainnya.

Bayangkan beban yang dialami rumah sakit dalam 9 tahun terakhir!

- Pengeluaran naik 100%.

- Pendapatan ngga ada kenaikan sama sekali.

Artinya, jika rumah sakit mau merasakan keuntungan yang ekuivalen dengan yang mereka dapatkan di tahun 2014, mereka harus meningkatkan kuantitas pelayanan 2x lipat. Akhirnya, rumah sakit harus menggenjot pelayanan. Para nakes lelah dikuras keringatnya namun pendapatan mereka tidak naik. Sedangkan mayoritas pelaksana pelayanan tidak tahu terkait gambaran besar sistem ekonominya. Ketika merasakan sulit mereka hanya bisa menyalahkan pihak yang terdekat, yakni manajemen rumah sakit. Padahal semua kekacauan ini terjadi sistemik, dibawah tanggung jawab Presiden langsung!

- Bersambung -

Komentar